Suasana sebuah kelas di salah satu sekolah dasar (SD) Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) riuh rendah. Sudirman, salah satu siswa kelas empat, berdiri di depan kelas memegang buku catatan.
"Lampu... Kamera... Action!" seru teman-teman sekelas dan Faisal Jamil, sang guru.
Usai aba-aba itu, Sudirman pun mulai bercerita, sesuai catatan di bukunya.
Siang itu, Pak Guru Faisal sedang mengajarkan kemampuan bicara di depan umum kepada murid-muridnya. Untuk mengatasi kegugupan, Faisal dan murid lainnya memperlakukan siswa yang kena giliran maju ke depan kelas layaknya "Superstar". Metode pengajaran yang diusung Sarjana Teknik Elektro ini memang lain dari kebanyakan guru di daerah Terdepan, Terluar, terpencil (3-T) tersebut.
Kiprah Faisal sebagai salah satu Pengajar Muda dari program Indonesia Mengajar besutan Anies Baswedan ini pun direkam. Dalam liputan mendalamnya, 101 East - Al Jazeera, mengangkat potret keseharian Faisal sebagai guru di daerah terpencil ke dalam gambaran besar buruknya sistem pendidikan Indonesia.
Al Jazeera, Rabu (17/2/2013) melansir, ketika Faisal sampai di Tambora 2012 lalu, lajang 23 tahun ini terkejut dengan keadaan yang harus dihadapinya; masyarakat hidup dalam keadaan minim dan terbatasnya aliran listrik. Faisal dapat melihat, siswa di kota besar Indonesia mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Faisal menilai, banyak yang harus dikejar dalam sistem pendidikan Tanah Air, mengingat antusiasme siswa untuk belajar sangat tinggi.
"Terutama soal pemerataan pendidikan. Para siswa ini belum tahu apakah mereka akan melanjutkan pendidikan karena mereka tidak tahu akankah ada guru yang mengajar? Ini tugas saya untuk mendorong mereka," ujar Faisal.
Di desa tanpa akses mobil dan berjarak delapan jam dari bandara terdekat ini Faisal megajar siswa kelas empat. Di Tambora, hanya dua dari empat guru yang datang mengajar. Dan mereka hanya lulusan SMA.
"Kalau guru jarang hadir, Pak Guru Faisal yang menggantikan," kata Yusika, salah satu murid Faisal.
Pria yang pernah bekerja di perusahaan telekomunikasi besar di Jakarta itu juga harus membantu guru-guru lain dengan kelas mereka. Terkadang, para guru ini harus bekerja sampingan untuk menjaga dapur tetap mengepul.
"Kedatangan guru sangat minim. Hanya satu atau dua yang datang. Selain itu, mereka memiliki metode pengajaran yang kaku. Sering kali para guru ini juga tidak memperhatikan para siswa mereka, sementara saya tidak bisa begitu," imbuhnya.
Salah salah satu program yang diterapkan Faisal ke anak didiknya adalah "Buku Curhat". Di buku ini, para siswa bebas menuliskan cerita atau menggambar apa saja. Awalnya dia hanya ingin mengajarkan para siswanya kebiasaan menulis dan mengungkapkan perasaan. Setiap cerita dibaca dan dikomentari Faisal, sekaligus membetulkan kalimat dan tata bahasanya. Pada akhirnya, proyek ini juga membuat Faisal lebih mengenal para siswanya secara pribadi.
Keberadaan Faisal menginspirasi para muridnya, seperti Yusika. Gadis mungil ini mengaku senang mendapat guru seperti Faisal. Pak Guru Faisal, kata Yusika, mengajarinya banyak hal, baik di kelas maupun luar kelas.
"Saya selalu mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan Pak Guru. Saya juga ingin menjadi guru supaya saya bisa mengajar matematika," ungkap penyuka pelajaran matematika tersebut.
Hampir setiap desa di Indonesia memiliki sekolah dasar, tapi hanya sepertiga penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan setingkat sekolah dasar tersebut. Banyak di antara mereka kemudian putus sekolah usai sekolah dasar baik karena keterbatasan ekonomi maupun karena terbatasnya akses pendidikan.
Alumnus Universitas Indonesia ini mengilustrasikan, di Tambora, siswa sangat kesusahan untuk sampai ke sekolah. Para siswa harus bertemu dengan hewan-hewan liar di hutan, termasuk babi hutan. Ketika hujan, ada kemungkinan pohon tumbang.
"Sebagian besar siswa ada yang terpaksa tinggal di rumah dan bekerja di ladang, jika tidak, maka dari mana mereka akan makan?" tuturnya.
Faisal mengaku, ketika bergabung dengan Indonesia Mengajar, dia tidak berpikir berpikir harus tinggal di daerah yang begitu terpencil. Tetapi ketika mengetahui tempatnya mengajar adalah desa yang berdekatan dengan gunung berapi, dia pun tahu bahwa ini akan menjadi pengalaman sekali seumur hidup.
"Orangtua saya juga awalnya tidak setuju saya meninggalkan pekerjaan saya di Jakarta dengan gaji yang memadai. Mereka bertanya, 'Apa yang akan kamu lakukan di sana?' Tetapi mengajar siswa-siswa kelas tiga dan empat ini memberikan pengalaman hidup yang sangat berharga bagi saya," ujar Faisal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar