Melalui Kurikulum 2013, pemerintah berusaha membuat perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya dilakukan dengan mengedepankan pendidikan berbasis nilai (values) ketimbang pendekatan sainstik.
Dalam sebuah liputan mendalam, Aljazeera memotret buramnya pendidikan Tanah Air sebagai imbas berbagai persoalan. Mulai dari minimnya akses pendidikan di daerah terpencil, persebaran guru yang tidak merata, rendahnya mutu guru, hingga wabah korupsi di semua bidang.
Dilansir Aljazeera, Rabu (27/2/2013), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh mengatakan, meski telah menganggarkan 20 persen dari total APBN untuk pendidikan, Indonesia memang masih berjuang dalam menemukan sistem pendidikan yang ideal. Dan perjuangan itu, dalam waktu dekat akan diwujudkan melalui penerapan kurikulum baru, Juli mendatang.
Menurut Nuh, kajian tentang kurikulum menunjukkan, Indonesia bukanlah negara yang terisolasi. Sebaliknya, Indonesia merupakan bagian dari komunitas global, sehingga Indonesia pun harus berkompetisi dengan seisi dunia. "Kita akan melihat perubahan dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang," ujar Nuh.
Salah satu perubahan mendasar dalam kurikulum pendidikan Indonesia adalah mengedepankan pendidikan berdasarkan nilai, seperti agama, nasionalisme, serta menghapus beberapa mata pelajaran sains. "Ini bukan nasionalisme dalam arti sempit, tetapi tentang mengenal negaramu sendiri, dan yang menjadikan identitas sebagai bangsa Indonesia," Nuh mengimbuh.
Pendidikan berbasis nilai ini, bagi siswi SMA, Artika Nuswaningrum, cukup rasional. Gadis 17 tahun itu merasa, pelajaran tentang nasionalisme yang didapatnya di sekolah cukup berharga. Dia mengaku, mendapat banyak pengetahuan tentang sistem pemerintahan dan sejarah negara Indonesia.
"Ketika lulus, kami akan berkerja di komunitas internasional. Kami harus mengenal negara kami dan mengetahui apa yang ingin dicapai Indonesia, dan apa yang negara kami perjuangkan," kata Artika.
Dukungan terhadap pendidikan berbasis nilai juga diberikan oleh para pakar pendidikan. Bahkan, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman mendorong penambahan jam pelajaran agama dari dua menjadi empat jam pelajaran selama seminggu.
"Pertama, siswa perlu mempercayai adanya Tuhan. Itu yang paling penting. Siswa perlu memiliki kekuatan spiritual. Saya tidak akan menganggap Anda orang Indonesia jika Anda tidak percaya Tuhan, atau perasaan keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi," tutur Arief.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan sependapat. Menurutnya, penambahan kuantitas pendidikan berbasis nilai akan cocok diterapkan di negara yang sedang berjuang melawan penindasan (bullying) dan kekerasan antarpelajar (tawuran).
"Pendidikan memproduksi orang-orang dengan karakter yang baik, khususnya integritas. Kita harus memerangi korupsi, dan korupsi bertalian erat dengan integritas. Begitu seseorang memiliki integritas, maka pengetahuan pun akan datang dengan sendirinya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar