Rabu, 27 Februari 2013

Ki Hajar Dewantara: Mendidik Manusia Merdeka

“Sampai saat ini saya tidak pernah mendengar nama Ki Hajar Dewantara disebutkan dalam Pembahasan Kurikulum 2013,” Kata Darmaningtyas yang menjadi salah satu tim penyusun kurikulum 2013.

SANGAT memprihatinkan, sebelumnya pendidikan kita telah menafikan agama, kini akan meniadakan sejarah. Banyak yang mengenal Ki Hajar sebatas nama, bukan pemikiran-pemikirannya yang revolusioner. Apalah arti sebuah nama jika kita tidak pernah mengenal apa yang mereka perjuangkan.

Sebelum Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara telah memiliki pemikiran pendidikan yang cukup visioner. Buah pemikiran tersebut dapat kita baca pada “Azas Tamansiswa 1922.” Pemikiran itu jika kita telaah ulang masih terasa sangat relevan dengan realita hari ini. Rugi rasanya jika kita membiarkan harta karun ini disia-siakan sedangkan kita asyik merujuk ke Cambridge University.

Azas ini terdiri dari tujuh pasal yaitu tentang Kemerdekaan Diri, Kemerdekaan Pikiran, Dasar Kebudayaan, Kemandirian, Hidup Sederhana, dan Keikhlasan. Ketujuh pasal inilah yang menjadi pondasi dasar Taman Siswa.

Pada pasal pertama, Ki Hajar menekankan kemerdekaan individu untuk mengatur dirinya sendiri. “Dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri.” Kemerdekaan ini harus tetap mengacu pada rambu “tertib – damainya hidup bersama”. Kemerdekaan yang Ki Hajar maksud bukanlah kebebasan yang membuat orang lain gelisah. Merdeka juga harus menghormati hak dan kewajiban orang lain.

Ki Hajar sangat tidak setuju dengan pendidikan yang menggunakan perintah, paksaan dan larangan. Bagi beliau, pendidikan cara lama ini telah mematikan kodrat alam seorang anak. Seorang guru haruslah Tut Wuri Handayani. Ki Hajar menjelaskan Tut Wuri Handayani dalam tulisan beliau tentang pendidikan sebagai berikut :

Kemajuan yang sejati hanya dapat diperoleh dengan perkembangan kodrati yang terkenal sebagai evolusi. Dasar kodrat alam inilah yang kemudian mewujudkan system pamong kita, dalam cara mana guru-guru kita menjadi pamong, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan Tut Wuri Handayani , yakni tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak – anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus menerus dituntun” dari depan. Dengan begitu, maka si- pamong hanya wajib menyingkirkan segala apa yang merintangi jalannya anak-anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri gerak-geriknya apa bila anak-anak sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam keselamatannya.

Tut Wuri Handayani yang dimaksud oleh Ki Hajar bukanlah kemerdekaan peserta didik yang tanpa batas. Seorang guru tetap harus membimbing anak didik agar tetap selamat mewujudkan apa yang anak didik cita-citakan.


Ki Hajar juga mementingkan kemerdekaan berpikir sang anak. Anak didik dibiasakan sejak dini untuk mencari sendiri pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Anak didik jangan selalu dipelopori untuk selalu mengakui cara berpikir orang lain. Kemerdekaan pikiran inilah yang termaktub dalam pasal dua Azas Taman Siswa.

Kemerdekaan berpikir yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara bukan kemerdekaan berpikir yang liberal (bebas tanpa batas). seperti apa yang beliau katakan, “ Hendaknya jangan pula dipelopori, namun berilah kebebasan secukupnya kepada mereka.” Tapi tidak jelas indikator secukupnya itu apa. Apakah perasaan manusia? Atau menurut Allah SWT ?.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin.

Kemerdekaan ini sangat perlu diwujudkan ketika masih banyak individu di negeri ini yang belum merdeka seutuhnya. Mereka masih dibuat miskin oleh sistem ekonomi kapitalis. Masih banyak yang dibayangi ketakutan ancaman PHK, dst.

Sudah saatnya kita lebih mengenal pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara. Bukan hanya sebatas nama, tetapi lebih dari itu. Apalah arti sebuah nama jika kita tidak pernah mengenal apa yang mereka perjuangkan.

Muhammad Ihsan
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar